Saya pernah mendengar dari orang tua dulu, bahwa jika
ingin melanjut sekolah tinggi, pilih lah jurusan ekonomi, apapun fokusnya,
karena kelak tenaga dan pikiran kita akan sangat dibutuhkan. Itu kata orang
dulu. Mungkin jika orang yang berbicara itu sekarang masih hidup? Dia akan
sangat menyesal berbicara seperti itu, melihat ke ironisan sekarang. Ya, memang
dahulu lulusan dari ekonomi sangat dielu-elukan menjadi ekonom ulung, dan
bekerja di kantor-kantor bertingkat, berlantai marmer, dan berpendingin ruangan,
tapi mungkin sekarang tidak. Ambil saja contoh juruaan akutansi dengan tujuan
ranah perbankan. Mungkin dahulu pihak bank akan mencari lulusan yang pandai
berhitung cepat, atau pandai mengebet uang menggunakan jemari, atau bahkan
lihai mengoperasikan komputer. Tapi sekarang berbeda. Banyak pihak bank yang
justru mencari rekrutan yang pandai dan sudah terdidik secara retorika, seperti
jurusan sastra, hukum, dan sosial. Tidak dapat dibohongi jika dahulu, lulusan
akutansi dibutuhkan untuk menelola keuangan dan uang masuk secara manual, tanpa
harus berretorika untuk menarik nasabah bergabung bersama perusahaan tersebut.
Tapi sekarang semua berbeda, bak partai fase grup dalam piala eropa 2016
terkadang prediksi bisa terpatahkan oleh hasil dilapangan. Ya benar, bank diera
sekarang lebih mencari lulusan yang berpenampilan menarik, dan pandai
berretorika seperti lulusan sastra, hukum, dan sosial. Perkara mengoperasikan
komputer untuk mengelola uang? Hal itu bisa dipelajari lewat trening selama 3-5
bulan sebelum bekerja, itu aturan yang di buat pemerintah untuk semua perbankan
di negeri ini tanpa terkecuali. Ironis, saking laris manisnya kampus dengan
dibukanya jurusan akutansi, bak kacang rebus di musim penghujan. Baik kampus
dengan embel negeri, swasta ternama, swasta menengah, hingga swasta di bawah
naungan ruko-ruko sewa dua tahun tarik. Saking banyaknya lulusan akutansi, dan
banyak pula peluang kerjanya, namun peluang itu ternyata lebih banyak berpihak
pada lulusan selain akutansi seperti sastra, hukum, dan sosial, yang lebih
mengedepankan humaniora atau hubungan sesama manusia yang lebih intim untuk
memikat nasabah menggunakan jasa bank tersebut. Miris, lulusan akutansi mati
dalam persaingan mendapatkan pekerjaan dengan lulusan akutansi dari kampus
lain. Di lain sisi, saat mereka beradu, muncul lulusan lain yang mengambil alih
ranah mereka, dengan embel-embel, pandai berretorika. Andai saja akutansi
diajari retorika, mungkin mereka tak akan semiris ini sekarang. Ilmu yang
mereka palajari, uang yang mereka keluarkan, waktu yang mereka luangkan.
Ternyata tergantikan oleh mesin yang dilengkapi dengan rumus-rumus instan yang
dioperasikan oleh tangan-tangan non akutansi. Saya miris dengan kenyataan yang
ironis, karena saya akutansi dan saya nanti ketika lulus tidak hanya bersaing
dengan jutaan lulusan akutansi yang akan memperebutkan ratusan lapangan
pekerjaan, tetapi bersaing pula dengan ratusan lululusan sastra, hukum, dan
sosial. Ternyata orang tua dulu salah, ia hanya meramal akutansi dan ekonomi
beberapa tahun setelahnya, bukan puluhan tahun selanjutnya. System perkuliahan
harus segera dirubah, tidak hanya mementingkan teori semata tetapi praktek
lapanganlah yang sangat penting. Dengan keahlian dan pengalaman dari praktek
lapangan membuat lulusan lulusan akuntansi dapat Berjaya.
Tulisan ini untuk
memenuhi tugas softskill mata kuliah Akuntansi Internasional
Nama : D. Auliasari
Dosen : Jessica Barus, SE., MMSI
UNIVERSITAS
GUNADARMA